LEWAT satu abad, tepatnya pada 15 April 2012 lalu,
orang masih memperbincangkan kapal pesiar Titanic yang tenggelan di Laut
Atlantik. Kapal paling besar, tercanggih, dan termewah pada zamannya
itu, tenggelam pada dinihari tanggal 15 April 1912.
Legenda ini terkenal karena jasa James Cameron mengangkatnya ke layar
lebar. Karya Cameron sepertinya menenggelamkan novel Buya HAMKA yang
sebelumnya cukup kesohor, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Hingga saat ini, banyak kalangan masih mendiskusikan penyebab Titanic
akhirnya kandas pada kedalaman 4 kilometer di dasar laut. Kejadiannya
memang sudah jelas, kapal itu menabrak gunung es yang merobek 90 meter
lambung bajanya, sehingga 1.500 lebih nyawa melayang. Namun, apa alasan
utama (raison d’etre) kapal bisa menabrak es, memicu sejumlah teori.
Hasil penyelidikan menyebutkan, saat kejadian ada peningkatan
gravitasi bumi yang membuat air laut pasang dan mengangkat puncak-puncak
gunung es. Penelitian lain menyimpulkan, terjadi fatamorgana di atas
permukaan laut, sehingga cahaya terbelokkan dan kapten kapal tidak bisa
melihat gunung es.
Ada pula pihak yang mengkaji konstruksi baja di lambung kapal.
Menurut kajian ini, paku-paku yang menyambung baja cacat produk.
Akibatnya, ketika kapal menerjang gunung es, paku-paku itu lepas dan
baja robek.
Dari semua teori itu, ada fakta yang tak terbantahkan. Satu jam
sebelum tenggelam, Titanic sudah mendapatkan peringatan berulang kali
tentang keberadaan gunung es. Antara lain dari kapal uap Californian
yang mengirim pesan radio bahwa dinihari itu mereka tidak bisa bergerak
karena dikepung gunung es. Namun semua peringatan itu diabaikan oleh
kapten Titanic, Edward Smith.
Pelajaran Terpenting
Dari situlah anomali itu muncul. Smith adalah seorang kapten yang
berpengalaman. Dia dipercaya memimpin pelayaran perdana Titanic dari
Southampton di Inggris menuju New York karena keahlian dan
pengalamannya. Namun Smith pula yang diduga dengan bangga berucap,
‘’Tuhan pun tidak akan mampu menenggelamkannya.’’
Pada saat itu, di tengah euforia atas puncak prestasi manusia di
bidang teknologi perkapalan, ucapan tersebut dianggap biasa saja. Dalam
film Titanic yang dibuat 1997 jelas terlihat penumpang
menyambut ucapan Smith dengan tawa lebar. Seakan-akan tidak ada sesuatu
di balik ucapan itu.
Terbuktilah kemudian betapa bencana itu datang karena human error.
Ucapan sang kapten menjadi sumber dari bencana itu. Terlalu yakin
dengan kecanggihan kapal membuatnya arogan dan lalai. Memang, keangkuhan
Smith belum sekaliber Firaun, akan tetapi akibat ucapan itu, nasib yang
diterimanya sama: tenggelam di laut.
Tuhan kok dilawan, begitulah kira-kira komentar umum atas fenomena
tersebut. Ya, begitu banyak pelajaran dari Titanic. Pelajaran
terpenting, manusia tidak boleh menyimpang dari jati dirinya. Manusia
adalah makhluk yang kecil tapi suka membesarkan diri. Apa pun
kecanggihan manusia tidak akan melebihi setetes air di samudera ilmu
Tuhan.
Apakah Tuhan menghukum Smith dan ribuan penumpang Titanic? Tidak.
Tuhan tahu kebodohan manusia dan tidak menjatuhkan hukuman berdasarkan
kelemahan makhluk-Nya. Manusialah yang menghukum dirinya sendiri.
Arogansi menciptakan anomali dalam jiwa manusia. Itulah awal dari banyak
malapetaka.
Barangkali kutipan ini membantu menjelaskan logika tersebut: ‘’Dan
apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling
dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan,
niscaya dia berputus asa.’’ (QS Al-Isra: 83).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar